P a r a P e l a k u:
1. Copet I
2. Copet II
3. Copet III
4. Copet IV
5. Kiai
6. Wanita
Lokasi pada sebuah gang yang sepi dekat sebuah masjid pada sebuah desa. Terdengar kentongan dan bedug dipukul orang, lalu disusul suara adzan.
Copet III : Itu suara apa?
Copet II : Suara orang adzan.
Copet I : Apa? Suara orang edan?
Copet II : Adzan, Goblok!
Copet I : Apa? (menilingkan kepala)
Copet II : Adzan, tuli?
Copet I : Oh, orang adzan. Adzan itu apa tho?
Copet III : Adzan itu panggilan untuk menjalankan sembahyang. Iya kan? Benar kan?
Copet II : Ho-oh!
Copet I : Adzan! Adzan! Wah baru kali ini aku dengar istilah itu. Kok, hampir sama, ya? Adzan! Edan!
Copet IV : Husss, dosssaaa! Dosa lho, kamu.
Copet I : Lho, kok dosa? Ini kan fakta! Kata adzan aku memang jarang mendengar. Lha, kalau kata edan mah itu sering kudengar. Waktu aku masih di asrama.
Copet III : Wah, gaya! Jadi kamu pernah tinggal di asrama?
Copet I : Jelas, dong! Dilihat tampangku kan jelas kelihatan.
Copet IV : Mana, sih asramamu?
Copet I : Wah asrama saya sangat ngetop!
Copet II : Lha iya, mana? Di mana itu?
Copet I : Di...mana, ya? Kalau tak salah di Pakem.
Copet II, III, IV : Ooooo, Pakem?! Pantas, pantas. (tertawa)
Copet I : Kenapa kalian saling tertawa, ha? Kenapa? Ha? Kenapa?
Copet III : Jebulnya pensiunan wong edan! Hahahahhaa bekas orang gila. (saling tertawa) Jebolan rumah sakit jiwa.
Copet I : Siapa yang pensiunan wong edan?
Copet IV : Lha, ya kamu itu! Lha, kalau bukan kamu siapa? Saya? Ah, nggak pantas dong. Saya kan cocoknya jadi presiden.
Copet II : Saya cocoknya jadi perdana menteri luar negeri.
Copet III : Kalau saya cocoknya jadi dramawan besar. Seperti Shakespeare, Anton Chekov, Stanislavky atau paling tidak Rendra.
Copet I : (tersenyum-senyum) Kalau saya.....kalau saya...cocoknya jadi...jadi...
Copet II : Ya, jadi wong edan! (semuanya tergelak-gelak)
Copet I : Bangsat! Bangsat! Bangsat! Kenapa kalian terus tertawa? Sedari tadi kalian mengataiku gila. Sekarang hilanglah kesabaran saya. Aku tidak terima, aku tidak terima. Ha, kenapa kalian bengong? Aku marah tahu! Marah!
Copet II : Sungguhan atau tidak?
Copet I : Sungguh!
Copet II : Wah, awas lho! Dia marah sungguh, lho.
Copet I : Hayo, maju sini. Jangan mundur-mundur begitu. Ayo, ayo maju sini. Siapa yang tadi menghinaku, ha? Kenapa sekarang takut? Ayo sini kerubutlah aku, kalau ingin benjut kepalamu!
Copet IV : Wah, gawat nih. Dia marah sungguhan. Cilaka kita bakal dihajarnya.
Copet III : Lha kamu sih tadi mengejek keterlaluan. Kalau jadi begini gimana?
Copet II : Wah lha saya nggak nyangka kalau dia bakal serius, kok.
Copet I : Ayo, jangan bisik-bisik melulu. Ayo lawan aku! Saya anak turunan Prabu Menakjingga yang perkasa. Ayo! Majulah! Ini dia pangeran dari Blambangan. (tiga copet yang lain menjadi semakin katakutan, digertak mereka semakin mengkeret dan mundur. Ketakutan memuncak, tiba-tiba copet I tertawa terbahak-bahak yang lain jadi terkejut/heran)
Copet II : Lho, kenapa sekarang dia malah ketawa?
Copet III : Kumat, mungkin? Kambuh sakit edan atau ayan?
Copet IV : Mat! Kenapa kau tertawa?
Copet I : (masih terus tertawa)
Copet III : Mat, kamu tidak kumat, bukan?
Copet I : (Sambil terus tertawa) Wah, kenapa sekarang kalian menjadi manusia-manusia tolol? Kenapa sekarang kalian mudah sekali ditipu?
Copet II : O! Jadi kamu tadi tidak marah, Mat?
Copet I : Edan apa? Masak sama kawan sendiri ok marah?
Copet IV : Wah, kalau tahu kau tadi tidak marah saya tidak akan ketakutan seperti ini. Nih, lihat, gara-gara kamu pura-pura marah, saya sampai terkencing-kencing di celana. Lihat, celanaku basah kuyup.
Copet I, III, IV : (tertawa bersama)
Copet II : Kamu cocok sebagi pemain sandiwara kalau begitu. Permainanmu tadi sungguh-sungguh akting yang total sekali!
Copet I : Sungguh? Sungguhkah, kata-katamu itu?
Copet II : Iya, dong! Kau bisa jadi pemain watak.
Copet I : Hiihik! (sambil rlari-lari kegirangan)
(yang lain senyum-senyum sambil menempelkan telunjuk masing-masing di jidat dengan posisi miring)
Copet I : Tapi, tapi saya tidak edan kan?
Copet II, III, IV : O, tidak, tidak.
(tiba-tiba datanglah seorang wanita berkerudung sambil membawa bungkusan mukena dan sajadah untuk shalat)
Copet III : Sssst! Lihat, tuh! Ada mangsa datang!
Copet II : O, iya! Waduh cantiknya, Meks!
Copet IV : Stop, Nona! Mau ke mana?
(Wanita muslim itu berhenti dan menatap komplotan itu satu persatu)
Copet II : Wah, tatapannya maut, sih. Keder juga aku.
Copet III : Kalau aku justru malah jatuh cinta! Ohhhhh...bidadariku, inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
Copet I : Alaaaa...pandangan pertama gombal!
(wanita itu kembali akan meneruskan perjalanan)
Copet IV : Lho, lho, nati dulu, Nona Ayu. Pertanyaanku belum dijawab, bukan? Mau ke mana bidadariku?
Wanita Muslim : Minggir. (sambil pasang kuda-kuda)
Copet IV : Oit, melotot. Aksi! Mau melawan, ya? (Copet IV mendekat dan akan mencolek, tiba-tiba tangannya ditangkap dan diplintir, lalu ditendang)
Copet IV : Waduh-waduh! Tiada kusangka kalau dia pandai pencak silat.
Copet II : Nah, itu namanya ketanggor.
Copet III : Kamu ini bagaimana? Orang temannya kena celaka, tidak ditolong malah dicela.
Copet II : Lha, dia kemlinthi, kok! Lha, ya biar kapok!
Copet I : Sudah, sudah, perkara sepele saja diributkan. Kan sekarang ada perkara yang lebih menarik dan menguntungkan. Tuh, tuh lihat dia mau pergi. Heit, heit, mau pergi ke mana, nih. Ayo, kawan, cepat. Kita gasak saja. Kita preteli perhiasannya. Kita perkosa orangnya. (tiba-tiba datang seorang Kiai)
Kiai : Ha...ha...ha...sungguh pemandangan yang lucu. Empat ekor serigala kelaparan mencoba memangsa kelinci tak berdaya. Sungguh tak seimbang.
Wanita muslim : Guru!
Kiai : Minggirlah, Zubbaidah, mereka bukan lawanmu. Dan mereka memang patut diberi pelajaran.
Copet I : Siapa kamu? Minggir! Kalau tidak parangku, Kiai Kalamenjing ini, akan merobek tubuhmu.
Kiai : Oke, aku tidak mau minggir. Kalau memang penasaran majulah!
Copet I : Bangsat! (terjadi perkelahian, Kiai dikerubuti, tetapi tetap unggul)
Copet III : Aduh, waduh bingung. Aku kapok, Pak Kiai, kapok!
Copet IV : Waduh kepalaku benjut. Ampun!
Copet II : Seluruh tubuhku rasanya ngilu semuanya. Jangan, Pak Kiai, saya jangan dipukuli lagi.
Copet I : Saya juga kapok, Pak Kiai.
Kiai : Benarkah kalian sudah kapok?
Copet I : Iya, Pak Kiai. Sungguh!
Copet II : Yakin - ainul - yakin, Pak Kiai.
Kiai : Alllaaaa! Pakai yakin “ainul yakin” segala
Copet II : Lho, diam-diam saya dulu pernah jadi santri di pondok, Pak Kiai.
Kiai : Lha, kenapa sekarang kok mbrandal?
Copet II : Itulah Pak Kiai saya lari dari pondok gara-gara mencuri petromaks.
Kiai : Dasar! Lha kamu?
Copet I : Kalau saya dulu juga sering ke mesjid, Pak Kiai. Terutama kalau bulan puasa saya ikut terawehan. Tetapi terus-menerus saya sering nyolongi sandal baru di masjid.
Kiai : Asem, kamu!
Copet III : Kalau almarhum kakek-buyut saya dulu seorang modin, Pak Kiai. Suka mimpin kenduri, itu kata orang tua saya. Tapi sayang saya dilahirkan dalam rumah tangga yang kacau balau. Bapak saya tukang kepruk. Ibu saya seorang pelacur jalanan.
Kiai : Astagfirullah! Manusia memang tidak akan mengetahui apa yang akan menjadi rencana-rencana Allah. Tuhan memang mengemudi kita semua. Tetapi jika kalian terjerumus ke jurang yang penuh onak dan cadas, jangan kalian salahkan Tuhan. Sebab kalian telah turuti bujukan syaitan nirajim! (semua orang bengong. Lalu bersama-sama mengangkat tangan, seperti gaya orang mendoa “Amin” dalam kenduri)
Kiai : Pada mulanya kalian ini adalah fitrah. Namun orang tuamu telah salah dalam menjuruskan kalian. Di samping kalian sendiri yang salah dalam memilih teman bergaul. Saya tidak akan berkata penjang lebar. Hanya saya akan menawarkan pada kalian. Jika kalian ingin meluruskan jalan kalian, saya sanggup memberi petunjuk. Jika tidak, toh itu urusan kalian juga. Aku akan segera meneruskan perjalanan.
Copet II : Kawan-kawan alangkah baiknya tawaran Pak Kiai. Kita telah ditaklukkannya. Dan jadi berandal pun lama-lama bosan juga. Pikiran selalu tidak tenang dan khawatir. Oh, aku jadi ingat sebuah nasehat: “Bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu sendiri tidak mau mengubah”. Betul begitu bukan, Pak Kiai?
Kiai : Ya, demikianlah. Sekarang bagaimana?
Copet III : Saya nurut saja.
Copet I : Tapi gimana? Saya ini beragama Katholik, Pak Kiai. Pakde saya ada yang jadi pastur. Saya sejak lahir telah dikukuhkan sebagai umat Kristiani, saya telah dibaptis. Nama saya Fransiscus Xaverius Boiman.
Kiai : Oh, begitu! Jika demikian pulanglah kamu ke haribaan agamamu. Minta ampunlah pada orang tuamu. Segera bertaubatlah kepada Allah dengan mengaku dosa lewat pastur. Dan jalankan kehidupan Liturgi yang telah lama kau lupakan. Rajin-rajinlah ke gereja, sesudah mengaku dosa pada pasturnya.
Copet IV : Terima kasih, Pak Kiai. (terdengar suara iqamah di mesjid)
Kiai : Zubbaidah, marilah! Dengarlah Qomat di mesjid, sembahyang sudah mulai. Tak apalah kita terlambat sedikit.
Wanita muslim : Marilah, guru.
Kiai : Hei, kalian bagaimana? Mau pulang atau ikut kami?
Copet I : Bagaimana?
Copet III : Lha, bagaimana?
Copet II : Yuk, ikut saja dech. Saya ikut Anda, Pak Kiai.
Copet I : Saya juga Pak Kiai.
Copet III : Saya juga, Pak. Tapi saya diajari wudlu dulu.
Kiai : Baik! Marilah!
Copet IV : Saya pulang dulu, Pak Kiai. Kawan-kawan selamat berpisah. Selamat berjalan di rel yang baru. Saya akan pergi ke gereja mulai besok Minggu.
THE END.
1. Copet I
2. Copet II
3. Copet III
4. Copet IV
5. Kiai
6. Wanita
Lokasi pada sebuah gang yang sepi dekat sebuah masjid pada sebuah desa. Terdengar kentongan dan bedug dipukul orang, lalu disusul suara adzan.
Copet III : Itu suara apa?
Copet II : Suara orang adzan.
Copet I : Apa? Suara orang edan?
Copet II : Adzan, Goblok!
Copet I : Apa? (menilingkan kepala)
Copet II : Adzan, tuli?
Copet I : Oh, orang adzan. Adzan itu apa tho?
Copet III : Adzan itu panggilan untuk menjalankan sembahyang. Iya kan? Benar kan?
Copet II : Ho-oh!
Copet I : Adzan! Adzan! Wah baru kali ini aku dengar istilah itu. Kok, hampir sama, ya? Adzan! Edan!
Copet IV : Husss, dosssaaa! Dosa lho, kamu.
Copet I : Lho, kok dosa? Ini kan fakta! Kata adzan aku memang jarang mendengar. Lha, kalau kata edan mah itu sering kudengar. Waktu aku masih di asrama.
Copet III : Wah, gaya! Jadi kamu pernah tinggal di asrama?
Copet I : Jelas, dong! Dilihat tampangku kan jelas kelihatan.
Copet IV : Mana, sih asramamu?
Copet I : Wah asrama saya sangat ngetop!
Copet II : Lha iya, mana? Di mana itu?
Copet I : Di...mana, ya? Kalau tak salah di Pakem.
Copet II, III, IV : Ooooo, Pakem?! Pantas, pantas. (tertawa)
Copet I : Kenapa kalian saling tertawa, ha? Kenapa? Ha? Kenapa?
Copet III : Jebulnya pensiunan wong edan! Hahahahhaa bekas orang gila. (saling tertawa) Jebolan rumah sakit jiwa.
Copet I : Siapa yang pensiunan wong edan?
Copet IV : Lha, ya kamu itu! Lha, kalau bukan kamu siapa? Saya? Ah, nggak pantas dong. Saya kan cocoknya jadi presiden.
Copet II : Saya cocoknya jadi perdana menteri luar negeri.
Copet III : Kalau saya cocoknya jadi dramawan besar. Seperti Shakespeare, Anton Chekov, Stanislavky atau paling tidak Rendra.
Copet I : (tersenyum-senyum) Kalau saya.....kalau saya...cocoknya jadi...jadi...
Copet II : Ya, jadi wong edan! (semuanya tergelak-gelak)
Copet I : Bangsat! Bangsat! Bangsat! Kenapa kalian terus tertawa? Sedari tadi kalian mengataiku gila. Sekarang hilanglah kesabaran saya. Aku tidak terima, aku tidak terima. Ha, kenapa kalian bengong? Aku marah tahu! Marah!
Copet II : Sungguhan atau tidak?
Copet I : Sungguh!
Copet II : Wah, awas lho! Dia marah sungguh, lho.
Copet I : Hayo, maju sini. Jangan mundur-mundur begitu. Ayo, ayo maju sini. Siapa yang tadi menghinaku, ha? Kenapa sekarang takut? Ayo sini kerubutlah aku, kalau ingin benjut kepalamu!
Copet IV : Wah, gawat nih. Dia marah sungguhan. Cilaka kita bakal dihajarnya.
Copet III : Lha kamu sih tadi mengejek keterlaluan. Kalau jadi begini gimana?
Copet II : Wah lha saya nggak nyangka kalau dia bakal serius, kok.
Copet I : Ayo, jangan bisik-bisik melulu. Ayo lawan aku! Saya anak turunan Prabu Menakjingga yang perkasa. Ayo! Majulah! Ini dia pangeran dari Blambangan. (tiga copet yang lain menjadi semakin katakutan, digertak mereka semakin mengkeret dan mundur. Ketakutan memuncak, tiba-tiba copet I tertawa terbahak-bahak yang lain jadi terkejut/heran)
Copet II : Lho, kenapa sekarang dia malah ketawa?
Copet III : Kumat, mungkin? Kambuh sakit edan atau ayan?
Copet IV : Mat! Kenapa kau tertawa?
Copet I : (masih terus tertawa)
Copet III : Mat, kamu tidak kumat, bukan?
Copet I : (Sambil terus tertawa) Wah, kenapa sekarang kalian menjadi manusia-manusia tolol? Kenapa sekarang kalian mudah sekali ditipu?
Copet II : O! Jadi kamu tadi tidak marah, Mat?
Copet I : Edan apa? Masak sama kawan sendiri ok marah?
Copet IV : Wah, kalau tahu kau tadi tidak marah saya tidak akan ketakutan seperti ini. Nih, lihat, gara-gara kamu pura-pura marah, saya sampai terkencing-kencing di celana. Lihat, celanaku basah kuyup.
Copet I, III, IV : (tertawa bersama)
Copet II : Kamu cocok sebagi pemain sandiwara kalau begitu. Permainanmu tadi sungguh-sungguh akting yang total sekali!
Copet I : Sungguh? Sungguhkah, kata-katamu itu?
Copet II : Iya, dong! Kau bisa jadi pemain watak.
Copet I : Hiihik! (sambil rlari-lari kegirangan)
(yang lain senyum-senyum sambil menempelkan telunjuk masing-masing di jidat dengan posisi miring)
Copet I : Tapi, tapi saya tidak edan kan?
Copet II, III, IV : O, tidak, tidak.
(tiba-tiba datanglah seorang wanita berkerudung sambil membawa bungkusan mukena dan sajadah untuk shalat)
Copet III : Sssst! Lihat, tuh! Ada mangsa datang!
Copet II : O, iya! Waduh cantiknya, Meks!
Copet IV : Stop, Nona! Mau ke mana?
(Wanita muslim itu berhenti dan menatap komplotan itu satu persatu)
Copet II : Wah, tatapannya maut, sih. Keder juga aku.
Copet III : Kalau aku justru malah jatuh cinta! Ohhhhh...bidadariku, inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
Copet I : Alaaaa...pandangan pertama gombal!
(wanita itu kembali akan meneruskan perjalanan)
Copet IV : Lho, lho, nati dulu, Nona Ayu. Pertanyaanku belum dijawab, bukan? Mau ke mana bidadariku?
Wanita Muslim : Minggir. (sambil pasang kuda-kuda)
Copet IV : Oit, melotot. Aksi! Mau melawan, ya? (Copet IV mendekat dan akan mencolek, tiba-tiba tangannya ditangkap dan diplintir, lalu ditendang)
Copet IV : Waduh-waduh! Tiada kusangka kalau dia pandai pencak silat.
Copet II : Nah, itu namanya ketanggor.
Copet III : Kamu ini bagaimana? Orang temannya kena celaka, tidak ditolong malah dicela.
Copet II : Lha, dia kemlinthi, kok! Lha, ya biar kapok!
Copet I : Sudah, sudah, perkara sepele saja diributkan. Kan sekarang ada perkara yang lebih menarik dan menguntungkan. Tuh, tuh lihat dia mau pergi. Heit, heit, mau pergi ke mana, nih. Ayo, kawan, cepat. Kita gasak saja. Kita preteli perhiasannya. Kita perkosa orangnya. (tiba-tiba datang seorang Kiai)
Kiai : Ha...ha...ha...sungguh pemandangan yang lucu. Empat ekor serigala kelaparan mencoba memangsa kelinci tak berdaya. Sungguh tak seimbang.
Wanita muslim : Guru!
Kiai : Minggirlah, Zubbaidah, mereka bukan lawanmu. Dan mereka memang patut diberi pelajaran.
Copet I : Siapa kamu? Minggir! Kalau tidak parangku, Kiai Kalamenjing ini, akan merobek tubuhmu.
Kiai : Oke, aku tidak mau minggir. Kalau memang penasaran majulah!
Copet I : Bangsat! (terjadi perkelahian, Kiai dikerubuti, tetapi tetap unggul)
Copet III : Aduh, waduh bingung. Aku kapok, Pak Kiai, kapok!
Copet IV : Waduh kepalaku benjut. Ampun!
Copet II : Seluruh tubuhku rasanya ngilu semuanya. Jangan, Pak Kiai, saya jangan dipukuli lagi.
Copet I : Saya juga kapok, Pak Kiai.
Kiai : Benarkah kalian sudah kapok?
Copet I : Iya, Pak Kiai. Sungguh!
Copet II : Yakin - ainul - yakin, Pak Kiai.
Kiai : Alllaaaa! Pakai yakin “ainul yakin” segala
Copet II : Lho, diam-diam saya dulu pernah jadi santri di pondok, Pak Kiai.
Kiai : Lha, kenapa sekarang kok mbrandal?
Copet II : Itulah Pak Kiai saya lari dari pondok gara-gara mencuri petromaks.
Kiai : Dasar! Lha kamu?
Copet I : Kalau saya dulu juga sering ke mesjid, Pak Kiai. Terutama kalau bulan puasa saya ikut terawehan. Tetapi terus-menerus saya sering nyolongi sandal baru di masjid.
Kiai : Asem, kamu!
Copet III : Kalau almarhum kakek-buyut saya dulu seorang modin, Pak Kiai. Suka mimpin kenduri, itu kata orang tua saya. Tapi sayang saya dilahirkan dalam rumah tangga yang kacau balau. Bapak saya tukang kepruk. Ibu saya seorang pelacur jalanan.
Kiai : Astagfirullah! Manusia memang tidak akan mengetahui apa yang akan menjadi rencana-rencana Allah. Tuhan memang mengemudi kita semua. Tetapi jika kalian terjerumus ke jurang yang penuh onak dan cadas, jangan kalian salahkan Tuhan. Sebab kalian telah turuti bujukan syaitan nirajim! (semua orang bengong. Lalu bersama-sama mengangkat tangan, seperti gaya orang mendoa “Amin” dalam kenduri)
Kiai : Pada mulanya kalian ini adalah fitrah. Namun orang tuamu telah salah dalam menjuruskan kalian. Di samping kalian sendiri yang salah dalam memilih teman bergaul. Saya tidak akan berkata penjang lebar. Hanya saya akan menawarkan pada kalian. Jika kalian ingin meluruskan jalan kalian, saya sanggup memberi petunjuk. Jika tidak, toh itu urusan kalian juga. Aku akan segera meneruskan perjalanan.
Copet II : Kawan-kawan alangkah baiknya tawaran Pak Kiai. Kita telah ditaklukkannya. Dan jadi berandal pun lama-lama bosan juga. Pikiran selalu tidak tenang dan khawatir. Oh, aku jadi ingat sebuah nasehat: “Bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu sendiri tidak mau mengubah”. Betul begitu bukan, Pak Kiai?
Kiai : Ya, demikianlah. Sekarang bagaimana?
Copet III : Saya nurut saja.
Copet I : Tapi gimana? Saya ini beragama Katholik, Pak Kiai. Pakde saya ada yang jadi pastur. Saya sejak lahir telah dikukuhkan sebagai umat Kristiani, saya telah dibaptis. Nama saya Fransiscus Xaverius Boiman.
Kiai : Oh, begitu! Jika demikian pulanglah kamu ke haribaan agamamu. Minta ampunlah pada orang tuamu. Segera bertaubatlah kepada Allah dengan mengaku dosa lewat pastur. Dan jalankan kehidupan Liturgi yang telah lama kau lupakan. Rajin-rajinlah ke gereja, sesudah mengaku dosa pada pasturnya.
Copet IV : Terima kasih, Pak Kiai. (terdengar suara iqamah di mesjid)
Kiai : Zubbaidah, marilah! Dengarlah Qomat di mesjid, sembahyang sudah mulai. Tak apalah kita terlambat sedikit.
Wanita muslim : Marilah, guru.
Kiai : Hei, kalian bagaimana? Mau pulang atau ikut kami?
Copet I : Bagaimana?
Copet III : Lha, bagaimana?
Copet II : Yuk, ikut saja dech. Saya ikut Anda, Pak Kiai.
Copet I : Saya juga Pak Kiai.
Copet III : Saya juga, Pak. Tapi saya diajari wudlu dulu.
Kiai : Baik! Marilah!
Copet IV : Saya pulang dulu, Pak Kiai. Kawan-kawan selamat berpisah. Selamat berjalan di rel yang baru. Saya akan pergi ke gereja mulai besok Minggu.
THE END.
0 Komentar "Naskah Derama : Sebelum Sembahyang"