Wednesday, February 1, 2017

Cerpen BaimElQudsy Skripsi Tiga Bahasa



Skripsi Tiga Bahasa
Cerpen BaimElQudsy

Hari ini adalah hari yang paling bersejarah dalam hidup para pengembara ilmu pengetahuan. Hari di mana ribuan mahasiswa berkumpul riuh bahagia memenuhi ruangan auditorium hotel Bumi Senyiur bintang lima Samarinda. Para pria memakai kemeja putih rapi berstelan jas hitam matching dan sepatu hitam tersemir dengan rambut yang tersisir rapi mengkilat. Begitu juga dengan para wanita yang memakai kebaya fashionable dengan kerudung yang bervariasi, matching dengan warna kulit mereka masing-masing. Tubuh mereka terbungkus oleh jubah toga tiga warna. Seperti kucing belang tiga yang ada di rumah. Tentu pemilihan warna di toga ini memiliki filosofi. Seluruh kainnya berwarna hitam seperti toga kebanyakan, bedanya di bagian lehernya melingkar warna hijau muda, di bagian depan dan belakang ada les kuning keemasan, pun melingkar di bagian lengan ujung tangan toga itu. Sangat cantik dan tampan sekali dipandang. Penuh dengan kewibawaan dan keanggunan bagi siapa yang mengenakannya.

Dua bulan yang lalu tepatnya pada tanggal 27/10/2010 sebelum acara wisuda ini resmi digelar. Para mahasiswa berkumpul memenuhi auditorium kampus untuk melakukan ritual yudisium. Sebuah ritual pra wisuda dengan gelar telah melekat di dada. Menjadi seorang sarjana yang sesungguhnya.

Saat itu waktu menunjukan pukul 21.00 malam. Uang di dompet tinggal recehan yang terpisah-pisah. Di atm (anjungan tunai mandiri) juga sudah ludes membayar biaya penjilidan skripsi, yudisium, dan wisuda. Sementara dasi belum sempat terbeli untuk acara yudisium esok pagi. Kurogoh hp di dalam saku celanaku, sejenak berpikir kepada siapakah aku meminta bantuan. Pikiranku menggelayut pada pesan yang dulu pernah terucap. Ayahku sudah jelas tidak ada uang. Uangnya sudah habis tuk membiayai adekku yang masih bersekolah di tingkat SMA. Hutang-hutang pun melilit keluarga kami. Gali lobang tutup lobang. Tidak terhitung lagi berapa kali kalung emas ibu keluar—masuk tahanan pegadaian hanya untuk membantu biaya sekolah dan kuliah kami bertiga. Ya, tinggal tiga orang anak lagi yang menjadi tanggungan ayah dan ibu dalam menimba ilmu. Kedua kakakku telah bekerja dan telah berumah tangga. Mereka juga harus membiayai keluarga kecil yang baru saja dibangunnya. Namun, meskipun begitu kakakku tidak lepas tanggung jawab kepada adek-adeknya. Kak Husni pernah berjanji sebelum aku langkahkan kaki pergi ke negeri orang ini untuk menimba ilmu. Ia akan membiayai kuliahku. Kutekan tombol hp (handphone) itu dan mulai mengetik sms sebanyak 300 karakter, sekedar menanyakan kabar penuh basa-basi yang akhirnya berakhir pada inti kesimpulan yang ingin kusampaikan. Membeli sebuah dasi untuk yudisiumku esok pagi.

Tanpa berlama-lama lagi kutekan tombol ok itu dengan tangan sedikit gemetar. Terpaksa. Klik. Message transmitted. Dalam hitungan seperjutaan kedipan mata. Melesat. Berpilin. Berputar. Jika mata dapat melihatnya, menggunakan kacamata tiga dimensi berkapasitas high-tech, pesan itu terlempar kuat menuju BTS (base transmitter station) terdekat. Terkoneksi cepat melesat menuju satelit palapa C-2 ratusan kilo meter di atas sana. Diproses sistem jaringan berkekuatan tinggi dengan jutaan pesan, suara, gambar, dan streaming video, namun hebatnya tidak satupun pesan itu tertukar. Sebelum mata sempat berkedip lagi, pesan itu sudah kembali dilontarkan ke muka bumi. Message received.

Suasana wisuda itu penuh dengan haru kebahagiaan. Setiap peserta wisuda memperoleh dua undangan untuk walinya. Wisudawan dan wisudawati sudah menempati posisi yang telah dinomori oleh panitia. Berikut juga para walinya menduduki kursi sesuai dengan nomor kursi yang disiapkan. Sesuai dengan pembicaraan ketika yudisium ada pembacaan nama-nama yang meraih prestasi terbaik. Ada sepuluh orang yang akan tampil setelah pemindahan dawai toga dari arah kiri ke arah kanan selesai. Moderator senat terbuka sudah mengetes-ngetes suaranya. Sedikit beredehem membetulkan suara yang serak parau. Pembacaan nama-nama wisudawan-wisudawati pun dimulai. Langkah kaki maju bergantian. Berbaris. Berjeda. Membungkukkan badan. Pemindahan toga. Hingga wisudawan-wisudawati turun menuruni anak tangga satu demi satu. Sementara Blitz camera cannon wartawan professional dan juru foto veteran berlensa panjang yang sedari tadi membungkus tubuh wisudawwan-wisudawati tak berhenti menerangi ruangan dengan silauannya. 

Sesuai dengan kesepakatan dan latihan proses pra wisuda, aku masuk dalam kategori lulusan terbaik dan tercepat. Ia dimintai untuk memberi kata sambutan dalam versi bahasa Inggris. Sementara teman lainnya menggunakan bahasa Indonesia dan Bahasa Arab.

“Hadirin sekalian. Inilah wisudawan dan wisudawati yang berhasil meraih prestasi gemilang dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi dan lulusan tercepat tahun 2011.” Ucap moderator menggema dengan echo suara yang memantul-mantul.

“Wisudawan terbaik pada Wisuda ke-XXX tahun 2011 Institut Agama Islam Negeri Samarinda adalah: Muhammad Fahri, Annisa, Zainal Abidin, Fatimatuzzahrah, Uwais Al-Qarni, Zaskia, Miftahul Jannah, Ibrahim, Lulu Indaryuni, Habibah, Syarifah Aila,…..”. bergantian wisudawan-wisudawati maju ke depan dihadapan ribuan wisudawan-wisudawati yang lainnya. Sungguh sebuah anugerah terindah yang Allah berikan padaku hari ini.

Penyerahan cindera mata diberikan langsung oleh Rektor beserta jajarannya. Bergantian memberikan ucapan selamat. Dan tiga orang yang telah dipilih namanya dipersilakan memberikan kata sambutan mengenai prestasi yang telah diraihnya dengan menggunakan tiga bahasa dari masing-masing wisudawan terpilih. Aku  mendapat jatah menggunakan bahasa Inggris.

“Hadirin yang berbahagia. Mahasiswa yang satu ini telah berhasil membuat skripsi dalam three languages (tiga bahasa: Indonesia, Inggris, Arab) dalam waktu yang tidak lama. Diselesaikan selama lima bulan dengan penelitian yang begitu up to date dan dilengkapi dengan data-data yang telah teruji validitasnya. Penelitiannya berjudul: Education Manajement Boarding School (Manajemen Pendidikan Pesantren). Mari kita sambut….Muhammad Fah-ri!” tepukan tangan merusuhkan ruangan yang berjumlah ribuan wisudawan-wisudawati itu. Suara seketika berhenti ketika microphone terketuk meyakinkan kalau keadaannya baik-baik saja. Berdehem. Menelan ludah. Bingung harus memulai dari mana.

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.” Semua peserta ruangan tak terkecuali para foto grafer tadi pun ikut menjawab salam dengan kompak.

“Pertama, puji syukur kepada Allah, Tuhan yang telah memberikanku kesempatan berdiri di podium ini. Kedua, shalawat yang tak lupa tercurahkan kepada Rasulullah Saw yang telah membawa perubahan besar pada peradaban manusia selama 14 abad silam. Ketiga, terimakasih kepada kedua sosok manusia mulia nan istimewa yang telah berjuang sekuat tenaga agar anak-anaknya terus bersekolah hingga perguruan tinggi. Tanpa doa mereka, tanpa jerih payah mereka saya tidak akan berdiri di atas podium ini. Ayah, Ibu, terimakasih atas segala doa dan pengorbananmu.”

Tiba-tiba telpon genggam di sakuku mendadak bergetar kemudian disusul dengan dering lagu Maher Zein, “Number One for Me”. Nada ini khusus di setting untuk nomor telpon keluarga. Hanya tujuh orang saja yang tau nomor telpon ini. Siapakah yang menelpon? Bukan, seharusnya aku bertanya apa yang terjadi? Kulihat layar telpon itu, ternyata yang menelpon adalah ayah. Ayah jarang sekali menelpon. Pasti ini telpon penting!

“Maaf, sebentar, permisi.” Sambilku berbalik memeraskan badan, sedikit membungkuk, bersembunyia dari mimbar podium dengan kepala menyembul sedikit keluar, pandangan ribuan orang melayang. Mengambang. Sorotan mata ribuan orang membidikku bak sasaran tembak. Kenapa aku yang tadi lincah ngoceh Inggris kemudian terdiam karena suara telpon itu. Seharusnya kupadamkan telpon itu. Tapi, telpon ini memang sengaja tak kupadamkan, karena telpon ini kusediakan untuk keluargaku yang nun jauh di sana. Sungguh tak pantas dan sopan. Namun, aku harus menjawabnya.
“Assalamu’alaikum, Ayah, ada apa? Nanti Fahri telpon, Fahri lagi di podium memberi kata sambutan.” Ucapku sopan dengan nada pelan, khawatir terdengar oleh ribuan mata yang sedari tadi membidikku dengan tatapan penasaran. Ayahku tidak turut hadir melihatku diwisuda karena usia yang sudah tua. Belum lagi kakinya yang sering sakit-sakitan tidak mampu untuk berjalan dalam waktu lama. Para hadirin masih saja memandangku dengan beribu tanda tanya. Merengut. Manyun. Karena sikapku yang menggantungkan pembicaraanku barusan.

“Wa’alaikum salam, Nak, kakakmu meninggal!” tergesa memberitahukan sebelum aku menutup telponnya. Ayah berbicara cepat. Secepat sambaran kilat.

Aku tercenung dengan apa yang dikatakan ayah barusan. Tak kusangka kakakku yang beberapa hari yang lalu mengirimkanku uang untuk membeli dasi kini telah pergi. Mukaku kaku. Pandanganku kosong melayang ke kampung halaman. Aku harus segera pulang.

Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan speaker. “Maaf, cukup sampai di sini—”

Gaduh. Seru-seruan kecewa.

Aku telah turun dari podium.

Tidak peduli dengan gelagat Bu Aini, si moderator cerewet yang berusaha bangkit dan mendekat padaku sekedar bertanya apa yang sedang terjadi. Kuacuhkan sahabat yang melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Para dewan senat berdiri serentak seakan memberikan instruksi hormat melihatku pergi. Entah mereka marah atau berusaha sekedar ingin mencari tahu alasanku pergi tanpa permisi. Tak kuhiraukan blitz foto grafer yang sedari tadi rakus membungkus tubuhku. Kudekati ibu dan adik bungsuku yang duduk di kursi tak jauh dari tepat dudukku. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas keluar dari ruangan. Bergegas.

Ruangan senat terbuka menjadi kaku mendadak diterpa musim salju kutub utara 13 derajat celcius, kemudian pecah membuncah dengan gemuruh kecewa. Ribuan orang yang tak berkedip melirik sinis, ada pula yang melipat dahi—bingung. Penasaran dengan kisah bagaimanakah proses menuliskan skripsi tiga bahasa itu?

"Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu."
--Kahlil Gibran--

0 Komentar "Cerpen BaimElQudsy Skripsi Tiga Bahasa "