Skripsi Tiga Bahasa
Cerpen BaimElQudsy
Hari ini adalah hari yang paling
bersejarah dalam hidup para pengembara ilmu pengetahuan. Hari di mana ribuan
mahasiswa berkumpul riuh bahagia memenuhi ruangan auditorium hotel Bumi Senyiur
bintang lima Samarinda. Para pria memakai kemeja putih rapi berstelan jas hitam
matching dan sepatu hitam tersemir dengan rambut yang tersisir rapi mengkilat.
Begitu juga dengan para wanita yang memakai kebaya fashionable dengan kerudung
yang bervariasi, matching dengan warna kulit mereka masing-masing. Tubuh mereka
terbungkus oleh jubah toga tiga warna. Seperti kucing belang tiga yang ada di
rumah. Tentu pemilihan warna di toga ini memiliki filosofi. Seluruh kainnya
berwarna hitam seperti toga kebanyakan, bedanya di bagian lehernya melingkar
warna hijau muda, di bagian depan dan belakang ada les kuning keemasan, pun
melingkar di bagian lengan ujung tangan toga itu. Sangat cantik dan tampan
sekali dipandang. Penuh dengan kewibawaan dan keanggunan bagi siapa yang
mengenakannya.
Dua bulan yang lalu tepatnya pada
tanggal 27/10/2010 sebelum acara wisuda ini resmi digelar. Para mahasiswa
berkumpul memenuhi auditorium kampus untuk melakukan ritual yudisium. Sebuah
ritual pra wisuda dengan gelar telah melekat di dada. Menjadi seorang sarjana
yang sesungguhnya.
Saat itu waktu menunjukan pukul
21.00 malam. Uang di dompet tinggal recehan yang terpisah-pisah. Di atm
(anjungan tunai mandiri) juga sudah ludes membayar biaya penjilidan skripsi,
yudisium, dan wisuda. Sementara dasi belum sempat terbeli untuk acara yudisium
esok pagi. Kurogoh hp di dalam saku celanaku, sejenak berpikir kepada siapakah
aku meminta bantuan. Pikiranku menggelayut pada pesan yang dulu pernah terucap.
Ayahku sudah jelas tidak ada uang. Uangnya sudah habis tuk membiayai adekku
yang masih bersekolah di tingkat SMA. Hutang-hutang pun melilit keluarga kami.
Gali lobang tutup lobang. Tidak terhitung lagi berapa kali kalung emas ibu
keluar—masuk tahanan pegadaian hanya untuk membantu biaya sekolah dan kuliah
kami bertiga. Ya, tinggal tiga orang anak lagi yang menjadi tanggungan ayah dan
ibu dalam menimba ilmu. Kedua kakakku telah bekerja dan telah berumah tangga.
Mereka juga harus membiayai keluarga kecil yang baru saja dibangunnya. Namun,
meskipun begitu kakakku tidak lepas tanggung jawab kepada adek-adeknya. Kak
Husni pernah berjanji sebelum aku langkahkan kaki pergi ke negeri orang ini
untuk menimba ilmu. Ia akan membiayai kuliahku. Kutekan tombol hp (handphone)
itu dan mulai mengetik sms sebanyak 300 karakter, sekedar menanyakan kabar
penuh basa-basi yang akhirnya berakhir pada inti kesimpulan yang ingin
kusampaikan. Membeli sebuah dasi untuk yudisiumku esok pagi.
Tanpa berlama-lama lagi kutekan
tombol ok itu dengan tangan sedikit gemetar. Terpaksa. Klik. Message
transmitted. Dalam hitungan seperjutaan kedipan mata. Melesat. Berpilin.
Berputar. Jika mata dapat melihatnya, menggunakan kacamata tiga dimensi
berkapasitas high-tech, pesan itu terlempar kuat menuju BTS (base transmitter
station) terdekat. Terkoneksi cepat melesat menuju satelit palapa C-2 ratusan
kilo meter di atas sana. Diproses sistem jaringan berkekuatan tinggi dengan
jutaan pesan, suara, gambar, dan streaming video, namun hebatnya tidak satupun
pesan itu tertukar. Sebelum mata sempat berkedip lagi, pesan itu sudah kembali
dilontarkan ke muka bumi. Message received.
Suasana wisuda itu penuh dengan haru
kebahagiaan. Setiap peserta wisuda memperoleh dua undangan untuk walinya.
Wisudawan dan wisudawati sudah menempati posisi yang telah dinomori oleh
panitia. Berikut juga para walinya menduduki kursi sesuai dengan nomor kursi
yang disiapkan. Sesuai dengan pembicaraan ketika yudisium ada pembacaan
nama-nama yang meraih prestasi terbaik. Ada sepuluh orang yang akan tampil
setelah pemindahan dawai toga dari arah kiri ke arah kanan selesai. Moderator
senat terbuka sudah mengetes-ngetes suaranya. Sedikit beredehem membetulkan
suara yang serak parau. Pembacaan nama-nama wisudawan-wisudawati pun dimulai.
Langkah kaki maju bergantian. Berbaris. Berjeda. Membungkukkan badan.
Pemindahan toga. Hingga wisudawan-wisudawati turun menuruni anak tangga satu
demi satu. Sementara Blitz camera cannon wartawan professional dan juru foto
veteran berlensa panjang yang sedari tadi membungkus tubuh
wisudawwan-wisudawati tak berhenti menerangi ruangan dengan silauannya.
Sesuai dengan kesepakatan dan
latihan proses pra wisuda, aku masuk dalam
kategori lulusan terbaik dan tercepat. Ia dimintai untuk memberi kata sambutan
dalam versi bahasa Inggris. Sementara teman lainnya menggunakan bahasa
Indonesia dan Bahasa Arab.
“Hadirin sekalian. Inilah wisudawan
dan wisudawati yang berhasil meraih prestasi gemilang dengan Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) tertinggi dan lulusan tercepat tahun 2011.” Ucap moderator
menggema dengan echo suara yang memantul-mantul.
“Wisudawan terbaik pada Wisuda
ke-XXX tahun 2011 Institut Agama Islam Negeri Samarinda adalah: Muhammad Fahri,
Annisa, Zainal Abidin, Fatimatuzzahrah, Uwais Al-Qarni, Zaskia, Miftahul
Jannah, Ibrahim, Lulu Indaryuni, Habibah, Syarifah Aila,…..”. bergantian
wisudawan-wisudawati maju ke depan dihadapan ribuan wisudawan-wisudawati yang
lainnya. Sungguh sebuah anugerah terindah yang Allah berikan padaku hari ini.
Penyerahan cindera mata diberikan
langsung oleh Rektor beserta jajarannya. Bergantian memberikan ucapan selamat.
Dan tiga orang yang telah dipilih namanya dipersilakan memberikan kata sambutan
mengenai prestasi yang telah diraihnya dengan menggunakan tiga bahasa dari
masing-masing wisudawan terpilih. Aku mendapat jatah menggunakan bahasa Inggris.
“Hadirin yang berbahagia. Mahasiswa
yang satu ini telah berhasil membuat skripsi dalam three languages (tiga
bahasa: Indonesia, Inggris, Arab) dalam waktu yang tidak lama. Diselesaikan
selama lima bulan dengan penelitian yang begitu up to date dan dilengkapi
dengan data-data yang telah teruji validitasnya. Penelitiannya berjudul:
Education Manajement Boarding School (Manajemen Pendidikan Pesantren). Mari
kita sambut….Muhammad Fah-ri!” tepukan tangan merusuhkan ruangan yang berjumlah
ribuan wisudawan-wisudawati itu. Suara seketika berhenti ketika microphone
terketuk meyakinkan kalau keadaannya baik-baik saja. Berdehem. Menelan ludah.
Bingung harus memulai dari mana.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi
wabarakaatuh.” Semua peserta ruangan tak terkecuali para foto grafer tadi pun
ikut menjawab salam dengan kompak.
“Pertama, puji syukur kepada Allah,
Tuhan yang telah memberikanku kesempatan berdiri di podium ini. Kedua, shalawat
yang tak lupa tercurahkan kepada Rasulullah Saw yang telah membawa perubahan
besar pada peradaban manusia selama 14 abad silam. Ketiga, terimakasih kepada
kedua sosok manusia mulia nan istimewa yang telah berjuang sekuat tenaga agar
anak-anaknya terus bersekolah hingga perguruan tinggi. Tanpa doa mereka, tanpa
jerih payah mereka saya tidak akan berdiri di atas podium ini. Ayah, Ibu,
terimakasih atas segala doa dan pengorbananmu.”
Tiba-tiba telpon genggam di sakuku
mendadak bergetar kemudian disusul dengan dering lagu Maher Zein, “Number One
for Me”. Nada ini khusus di setting untuk nomor telpon keluarga. Hanya tujuh
orang saja yang tau nomor telpon ini. Siapakah yang menelpon? Bukan, seharusnya
aku bertanya apa yang terjadi? Kulihat layar telpon itu, ternyata yang menelpon
adalah ayah. Ayah jarang sekali menelpon. Pasti ini telpon penting!
“Maaf, sebentar, permisi.” Sambilku
berbalik memeraskan badan, sedikit membungkuk, bersembunyia dari mimbar podium
dengan kepala menyembul sedikit keluar, pandangan ribuan orang melayang.
Mengambang. Sorotan mata ribuan orang membidikku bak sasaran tembak. Kenapa aku
yang tadi lincah ngoceh Inggris kemudian terdiam karena suara telpon itu.
Seharusnya kupadamkan telpon itu. Tapi, telpon ini memang sengaja tak
kupadamkan, karena telpon ini kusediakan untuk keluargaku yang nun jauh di
sana. Sungguh tak pantas dan sopan. Namun, aku harus menjawabnya.
“Assalamu’alaikum, Ayah, ada apa?
Nanti Fahri telpon, Fahri lagi di podium memberi kata sambutan.” Ucapku sopan
dengan nada pelan, khawatir terdengar oleh ribuan mata yang sedari tadi
membidikku dengan tatapan penasaran. Ayahku tidak turut hadir melihatku
diwisuda karena usia yang sudah tua. Belum lagi kakinya yang sering
sakit-sakitan tidak mampu untuk berjalan dalam waktu lama. Para hadirin masih
saja memandangku dengan beribu tanda tanya. Merengut. Manyun. Karena sikapku yang
menggantungkan pembicaraanku barusan.
“Wa’alaikum salam, Nak, kakakmu
meninggal!” tergesa memberitahukan sebelum aku menutup telponnya. Ayah
berbicara cepat. Secepat sambaran kilat.
Aku tercenung dengan apa yang
dikatakan ayah barusan. Tak kusangka kakakku yang beberapa hari yang lalu
mengirimkanku uang untuk membeli dasi kini telah pergi. Mukaku kaku.
Pandanganku kosong melayang ke kampung halaman. Aku harus segera pulang.
Lantas dengan suara amat lemah
berkata pendek di depan speaker. “Maaf, cukup sampai di sini—”
Gaduh. Seru-seruan kecewa.
Aku telah turun dari podium.
Tidak peduli dengan gelagat Bu Aini,
si moderator cerewet yang berusaha bangkit dan mendekat padaku sekedar bertanya
apa yang sedang terjadi. Kuacuhkan sahabat yang melontarkan pertanyaan
bertubi-tubi. Para dewan senat berdiri serentak seakan memberikan instruksi
hormat melihatku pergi. Entah mereka marah atau berusaha sekedar ingin mencari
tahu alasanku pergi tanpa permisi. Tak kuhiraukan blitz foto grafer yang sedari
tadi rakus membungkus tubuhku. Kudekati ibu dan adik bungsuku yang duduk di
kursi tak jauh dari tepat dudukku. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas
keluar dari ruangan. Bergegas.
Ruangan senat terbuka menjadi kaku mendadak diterpa
musim salju kutub utara 13 derajat celcius, kemudian pecah membuncah dengan
gemuruh kecewa. Ribuan orang yang tak berkedip melirik sinis, ada pula yang
melipat dahi—bingung. Penasaran dengan kisah bagaimanakah proses menuliskan
skripsi tiga bahasa itu?
"Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu."
--Kahlil Gibran--
0 Komentar "Cerpen BaimElQudsy Skripsi Tiga Bahasa "