Sri Batang
Cerpen M Thobroni
Saat kuceritakan kisah ini, keluarga dan
tetanggaku mungkin sedang merangkai bagian-bagian tubuhku. Ya, anggota-anggota
tubuhku telah dimutilasi. Aku sendiri tak pernah menyangka, kehidupanku akan
berakhir seperti ini. Bahkan, sama sekali tak kusangka, niat berjuang
memperbaiki nasib keluarga akan berujung serupa ini.
Ya. Sama sekali tak terbayang. Tak terbesit
dalam benak. Yang tergambar hanyalah tumpukan ringgit. Lembar demi lembar
ringgit yang kukumpulkan di negeri jiran, adalah harapan uang sangu keempat
anakku di Batang sana.
Betul. Aku memang berasal dari Batang.
Kampung pesisir utara Jawa. Itulah sebabnya aku lebih dikenal sebagai Sri
Batang. Sebab aku berasal dari Batang. Padahal nama asliku yang telah dibancaki
jenang adalah Sri Rejeki. Mantap kan? Bapak memang luar biasa. Nelayan kecil
yang memberi nama indah pada anaknya: Sri Rejeki. Sri adalah dewi kesuburan.
Artinya, bapak ingin aku subur rejeki atau lancar rejeki.
Alhamdulillah, di tengah tekanan kemiskinan
keluarga, tanda-tanda kesuburan rejeki itu memang selalu muncul. Meski kerap
juga hilang begitu saja.
Dulu, dengan wajah manis dan body semlohai
kata orang, aku dilamar lurah. Tapi ibuku menolak. Lurah pun mundur teratur.
Katanya takut kuwalat. Ia tidak pernah bertanya mengapa ibu menolak lamarannya.
Hingga, kabar manis dari jiran tiba.
Bambang, makelar tenaga kerja keliling
kampung.
"Ayo, siapa mau ikut aku? Kuantar ke
negeri jiran. Di sana serba mudah. Uang tercecer di mana-mana. Bahkan kita
meludah dan berak yang keluar ialah uang," katanya.
Bambang terus keliling kampung. Ia menemui
tokoh masyarakat. Juga para orang tua yang sedang dicengkeram kemiskinan. Juga
pasangan yang bosan membayangkan masa depan mereka yang suram.
"Memangnya di sana kerja apa?"
Tanya suamiku senyum-senyum.
"Nggak berat kok Lik. Bisa jaga kebun,
bersihkan rumput atau panen sawit. Itu kalau laki. Kalau perempuan ya biasa.
Masak misalnya!"
Selepas Bambang pulang dan anak-anak
terlelap, suamiku langsung memelukku.
"Biarlah aku yang ikut Bambang. Biar
aku yang berangkat. Aku lelaki. Aku yang bertanggungjawab atas keluarga
ini," bisik suamiku. Habis itu dia mencium dahiku.
"Kalau aku kangen gimana? Terus yang
masak buat akang siapa? Aku kasihan kamu, Kang! Aku nggak bisa membayangkan.
Apalagi kalau kamu jatuh cinta kepada perempuan sana!"
"Tidak. Itu tidak mungkin, Sri. Aku
akan kuat. Setia menjaga perasaanku kepadamu."
"Perasaan memang bisa dijaga, kang.
Tapi siapa yang ngladeni kamu bila pingin? Sedangkan beberapa tahun kawin saja
anakmu sudah empat. Empat, Kang! Apakah kamu lupa?"
Suamiku tersenyum. Kembali meraih kepalaku.
Mencium dahiku lagi. Lalu perbincangan itu tidak berlanjut.
Akhirnya, suamiku setuju. Aku berangkat ke
negeri jiran. Alasannya, agar suamiku tetap bisa meneruskan kerja sebagai
nelayan. Ia yang merawat anak-anak. Itu juga dapat menjadi pengingat agar ia
dapat mengendalikan diri. Tidak serong. Untuk makan, biarlah dikirim oleh emak.
Di negeri jiran, aku bekerja sebagai juru
masak. Memang betul yang dikatakan Bambang. Uang mudah didapatkan. Hanya dengan
masak, aku dapat mengumpulkan berlembar-lembar ringgit. Uang itu sebagian besar
kukirim pulang. Untuk sangu anak-anak, biaya hidup keluarga, beli perabotan.
Rumah juga dipugar sedikit demi sedikit. Perahu suamiku juga makin bagus. Aku
senang bekerja di jiran. Jerih payahku bermanfaat untuk keluarga.
Di antara kebahagiaan mengalirnya ringgit
itu, munculnya Hendra memang sedikit unik. Mungkin mendebarkan. Bahkan
menggetarkan.
Meski telah beranak empat, tapi usiaku baru
beranjak kepala tiga. Kata orang, setrumnya sedang kuat-kuatnya.
Hendra selalu senang dengan masakanku.
Tidak banyak mengeluh. Bahkan sering memuji.
"Rupanya kamu pintar masak, Sri. Apa
perempuan di kampungmu pintar masak semua?" Tanyanya.
Aku hanya tersenyum.
Ia pasti hanya basa-basi.
Hendra sering makan terakhir. Tak lupa ia
selalu menyempatkan diri bertemu denganku. Sembari makan, ia selalu bercerita.
Banyak hal lucu dan menarik diceritakannya. Bagiku itu sangat menghibur. Di
tengah rutinitas masak. Biar bagaimanapun aku butuh hiburan. Hendra mungkin
hadir saat yang tepat.
Pernah ia pulang dari kota. Dibawakannya
aku daster. Senang sekali rasanya. Apalagi aku jarang ada waktu ke kota. Daster
itu langsung kupakai. Saat makan, Hendra terpana dengan penampilanku.
Aku tentu saja merasa tersanjung. Kubiarkan
Hendra memegang tanganku dan mencium punggungnya.
"Terima kasih sudah memakainya,"
ujarnya.
Rupanya ia senang daster itu kupakai.
Hingga beberapa hari kemudian ia kembali datang. Ia menyerahkan daster, kaos,
celana dalam, bahkan BH.
Aku kaget. Wah tidak benar ini. Aku
khawatir sesuatu dapat terjadi. Tapi semua telah berjalan cepat. Hendra telah
hadir menjadi bagian kisah hidupku.
"Aku mencintaimu, Sri."
Ia menyatakan itu dengan tenang.
"Aku tidak bisa mas Hendra."
"Kenapa? Apa aku kurang baik?"
"Mas Hendra tahu aku punya suami.
Anakku pun empat. Empat mas! Mas bisa cari perempuan yang lebih baik."
"Nggak masalah, Sri. Biar anakmu
sepuluh. Aku tak peduli! Soal suamimu itu biarlah aku yang menyelesaikan. Aku
akan datang dan bicara baik-baik. Agar ia dapat menceraimu."
"Jangan ngawur Mas."
"Mengapa? Bukankah itu lebih baik?
Berpisah tidak selalu buruk. Biarlah suamimu kawin lagi di kampung. Selama ini
pun kamu tidak pernah melayaninya. Apa kamu tidak kasihan kepadanya? Dia
laki-laki! Kemana dia menyalurkan hasrat? Sedangkan kamu di sini? Kamu sendiri
bagaimana? Apakah perempuan tidak membutuhkan belaian? Tidak butuh dicumbu?
Jangan melawan takdir Sri!"
Aku terdiam mendengar ucapannya. Benar juga
ya. Pada titik ini aku mulai menyesali keputusan kerja di negeri jiran. Namun,
aku tetap berusaha berpikir jernih. Semua harus diakhiri. Tidak ada terlambat.
Aku menolak cinta Hendra.
Dan ia marah besar. Ia membanting piring
dan sisa nasinya. Kakinya menendang panci sayur. Dan ia meninggalkan dapur camp
dengan membanting pintu.
Selepas itu aku merenung sendiri. Inikah
jalan hidup yang harus ditempuh? Jauh-jauh ke negeri jiran untuk mengubah
nasib. Bukan mengubah cinta. Biarlah suamiku jelek, hitam dan miskin. Tapi mas
Bambang adalah kekasih abadiku dunia akhirat.
Saat membaca kisah ini, aku juga tidak
mengerti siapa yang telah mutilasi aku. Biarlah polisi yang bekerja. Aku akan
berangkat ke surga. Mendahului suamiku ke sana. Aku tetap berharap dapat
bersatu dengan mas Bambang. Bila Tuhan menerimaku di surga.
0 Komentar "Sri Batang Cerpen M Thobroni"