Monday, January 30, 2017

Sri Batang Cerpen M Thobroni


Sri Batang
Cerpen M Thobroni

Saat kuceritakan kisah ini, keluarga dan tetanggaku mungkin sedang merangkai bagian-bagian tubuhku. Ya, anggota-anggota tubuhku telah dimutilasi. Aku sendiri tak pernah menyangka, kehidupanku akan berakhir seperti ini. Bahkan, sama sekali tak kusangka, niat berjuang memperbaiki nasib keluarga akan berujung serupa ini.

Ya. Sama sekali tak terbayang. Tak terbesit dalam benak. Yang tergambar hanyalah tumpukan ringgit. Lembar demi lembar ringgit yang kukumpulkan di negeri jiran, adalah harapan uang sangu keempat anakku di Batang sana.

Betul. Aku memang berasal dari Batang. Kampung pesisir utara Jawa. Itulah sebabnya aku lebih dikenal sebagai Sri Batang. Sebab aku berasal dari Batang. Padahal nama asliku yang telah dibancaki jenang adalah Sri Rejeki. Mantap kan? Bapak memang luar biasa. Nelayan kecil yang memberi nama indah pada anaknya: Sri Rejeki. Sri adalah dewi kesuburan. Artinya, bapak ingin aku subur rejeki atau lancar rejeki.

Alhamdulillah, di tengah tekanan kemiskinan keluarga, tanda-tanda kesuburan rejeki itu memang selalu muncul. Meski kerap juga hilang begitu saja.
Dulu, dengan wajah manis dan body semlohai kata orang, aku dilamar lurah. Tapi ibuku menolak. Lurah pun mundur teratur. Katanya takut kuwalat. Ia tidak pernah bertanya mengapa ibu menolak lamarannya.

Hingga, kabar manis dari jiran tiba.

Bambang, makelar tenaga kerja keliling kampung.

"Ayo, siapa mau ikut aku? Kuantar ke negeri jiran. Di sana serba mudah. Uang tercecer di mana-mana. Bahkan kita meludah dan berak yang keluar ialah uang," katanya.
Bambang terus keliling kampung. Ia menemui tokoh masyarakat. Juga para orang tua yang sedang dicengkeram kemiskinan. Juga pasangan yang bosan membayangkan masa depan mereka yang suram.

"Memangnya di sana kerja apa?" Tanya suamiku senyum-senyum.

"Nggak berat kok Lik. Bisa jaga kebun, bersihkan rumput atau panen sawit. Itu kalau laki. Kalau perempuan ya biasa. Masak misalnya!"

Selepas Bambang pulang dan anak-anak terlelap, suamiku langsung memelukku.

"Biarlah aku yang ikut Bambang. Biar aku yang berangkat. Aku lelaki. Aku yang bertanggungjawab atas keluarga ini," bisik suamiku. Habis itu dia mencium dahiku.

"Kalau aku kangen gimana? Terus yang masak buat akang siapa? Aku kasihan kamu, Kang! Aku nggak bisa membayangkan. Apalagi kalau kamu jatuh cinta kepada perempuan sana!"
"Tidak. Itu tidak mungkin, Sri. Aku akan kuat. Setia menjaga perasaanku kepadamu."
"Perasaan memang bisa dijaga, kang. Tapi siapa yang ngladeni kamu bila pingin? Sedangkan beberapa tahun kawin saja anakmu sudah empat. Empat, Kang! Apakah kamu lupa?"

Suamiku tersenyum. Kembali meraih kepalaku. Mencium dahiku lagi. Lalu perbincangan itu tidak berlanjut.

Akhirnya, suamiku setuju. Aku berangkat ke negeri jiran. Alasannya, agar suamiku tetap bisa meneruskan kerja sebagai nelayan. Ia yang merawat anak-anak. Itu juga dapat menjadi pengingat agar ia dapat mengendalikan diri. Tidak serong. Untuk makan, biarlah dikirim oleh emak.
Di negeri jiran, aku bekerja sebagai juru masak. Memang betul yang dikatakan Bambang. Uang mudah didapatkan. Hanya dengan masak, aku dapat mengumpulkan berlembar-lembar ringgit. Uang itu sebagian besar kukirim pulang. Untuk sangu anak-anak, biaya hidup keluarga, beli perabotan. Rumah juga dipugar sedikit demi sedikit. Perahu suamiku juga makin bagus. Aku senang bekerja di jiran. Jerih payahku bermanfaat untuk keluarga.

Di antara kebahagiaan mengalirnya ringgit itu, munculnya Hendra memang sedikit unik. Mungkin mendebarkan. Bahkan menggetarkan.
Meski telah beranak empat, tapi usiaku baru beranjak kepala tiga. Kata orang, setrumnya sedang kuat-kuatnya.

Hendra selalu senang dengan masakanku. Tidak banyak mengeluh. Bahkan sering memuji.

"Rupanya kamu pintar masak, Sri. Apa perempuan di kampungmu pintar masak semua?" Tanyanya. 

Aku hanya tersenyum. Ia pasti hanya basa-basi.
Hendra sering makan terakhir. Tak lupa ia selalu menyempatkan diri bertemu denganku. Sembari makan, ia selalu bercerita. Banyak hal lucu dan menarik diceritakannya. Bagiku itu sangat menghibur. Di tengah rutinitas masak. Biar bagaimanapun aku butuh hiburan. Hendra mungkin hadir saat yang tepat.

Pernah ia pulang dari kota. Dibawakannya aku daster. Senang sekali rasanya. Apalagi aku jarang ada waktu ke kota. Daster itu langsung kupakai. Saat makan, Hendra terpana dengan penampilanku.
Aku tentu saja merasa tersanjung. Kubiarkan Hendra memegang tanganku dan mencium punggungnya.

"Terima kasih sudah memakainya," ujarnya.

Rupanya ia senang daster itu kupakai. Hingga beberapa hari kemudian ia kembali datang. Ia menyerahkan daster, kaos, celana dalam, bahkan BH.

Aku kaget. Wah tidak benar ini. Aku khawatir sesuatu dapat terjadi. Tapi semua telah berjalan cepat. Hendra telah hadir menjadi bagian kisah hidupku.

"Aku mencintaimu, Sri."
Ia menyatakan itu dengan tenang.

"Aku tidak bisa mas Hendra."

"Kenapa? Apa aku kurang baik?"

"Mas Hendra tahu aku punya suami. Anakku pun empat. Empat mas! Mas bisa cari perempuan yang lebih baik."

"Nggak masalah, Sri. Biar anakmu sepuluh. Aku tak peduli! Soal suamimu itu biarlah aku yang menyelesaikan. Aku akan datang dan bicara baik-baik. Agar ia dapat menceraimu."

"Jangan ngawur Mas."

"Mengapa? Bukankah itu lebih baik? Berpisah tidak selalu buruk. Biarlah suamimu kawin lagi di kampung. Selama ini pun kamu tidak pernah melayaninya. Apa kamu tidak kasihan kepadanya? Dia laki-laki! Kemana dia menyalurkan hasrat? Sedangkan kamu di sini? Kamu sendiri bagaimana? Apakah perempuan tidak membutuhkan belaian? Tidak butuh dicumbu? Jangan melawan takdir Sri!"
Aku terdiam mendengar ucapannya. Benar juga ya. Pada titik ini aku mulai menyesali keputusan kerja di negeri jiran. Namun, aku tetap berusaha berpikir jernih. Semua harus diakhiri. Tidak ada terlambat. Aku menolak cinta Hendra.

Dan ia marah besar. Ia membanting piring dan sisa nasinya. Kakinya menendang panci sayur. Dan ia meninggalkan dapur camp dengan membanting pintu.
Selepas itu aku merenung sendiri. Inikah jalan hidup yang harus ditempuh? Jauh-jauh ke negeri jiran untuk mengubah nasib. Bukan mengubah cinta. Biarlah suamiku jelek, hitam dan miskin. Tapi mas Bambang adalah kekasih abadiku dunia akhirat.

Saat membaca kisah ini, aku juga tidak mengerti siapa yang telah mutilasi aku. Biarlah polisi yang bekerja. Aku akan berangkat ke surga. Mendahului suamiku ke sana. Aku tetap berharap dapat bersatu dengan mas Bambang. Bila Tuhan menerimaku di surga.

Tarakan, 30 Januari 2017 

"Mencintaimu adalah bahagia & sedih;
bahagia karna memilikimu dalam kalbu;
sedih karena kita sering berpisah."

WS. Rendra

0 Komentar "Sri Batang Cerpen M Thobroni"