Wednesday, February 8, 2017

Si Yujang Buayoi Kelayun, Cerpen Siti Soleha

Si Yujang Buayoi Kelayun
Cerpen Siti Soleha
“Wajah senja, hati embun, dingin dan santun. Kau harus kawin”

Siapa yang tak kenal Yujang? Lelaki kepala empat yang diliputi rasa kasmaran, begitu kata anak jaman sekarang, sebatang kara dan banyak harta. Tanah dimana-mana, rumah rupa istana yang terbuat dari kayu ulin, kayu termahal dan melimpah di kalimantan dulunya, simpanan masih bisa dinikmati sampai tujuh turunan pula. Kalau pergi kemana-mana selalu memakai kopiyah kesayangan peninggalan almarhum Ayahnya. Jika tak dibawa, rasa-rasa seperti ada yang kurang di kepala. Sungguh tampilan seperti itu katro, kata orang-orang kampung. Pantas dia tak dapat pendamping, tampilannya tak bisa menarik hati wanita. Letak rumahnya di hilir prsimpangan sungai kayan dan di seberang sungai ada kubil yang di beri nama muara kubil yaitu lumpur yang timbul dipinggir sungai.
                Yujang lelaki sukses dan paling kaya di Kubil Seberang, dia bukan keturunan tidung murni, melainkan campuran arab, cina dan tidung. Tak banyak yang tau tentang keluarganya, karena mereka tinggal berjauhan. Dia hanya ingin menetap di kampung supaya bisa menikmati suasana yang asri begitu katanya. Prilakunya yang baik dan tidak pelit sering membuatnya di juluki “Tulalit” yang artinya si tua tidak pula pelit. Yujang tak mengapa dengan julukan itu, justru itu membuatnya terkenal di kampung.
                Orang kampung biasa memanggil dengan sebutan Yujang, karena dia nyaman dengan sebutan itu, Yujang yang berarti paman dalam bahasa tidung, di banding sebutan Pak, kelihatan tua katanya. Sebenarnya usianya memang sudah tua dan sepantasnya sudah harus punya anak, tapi istri saja belum punya. Kalau saja dia tak menolak menikahi perempuan pilihan keluarganya yang dari malaysia, mungkin saja dia sudah punya anak dua sekarang.
Kekasihnya, Lena, keturunan Dayak-Cina yang dulunya pembantu di rumahnya, setelah jadi kekasih, Lena tak bekerja sebagai pembantu lagi karena Yujang tak ingin status pembantu menempel pada Lena, dan Lena pun gengsi jadi pembantu kekasih sendiri. Saat ini Yujang tak ingin berlama-lama punya hubungan yang hanya sebatas pacaran, dai ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan, mengingat usianya yang tak muda lagi, umurnya pun tak berbeda jauh dengan kekasihnya, ya sekitar empat tahunan. Bukan soal pilih-pilih sampai sekarang belum dapat pendamping, tapi Yujang hanya takut dengan perempuan, mengingat orang tuanya yang pernah bercerai.
“Dek Lena, kita sudah lama pacaran dan orang-orang kampung sudah tau tentang hubungan kita. Aku tak ingin kita hanya sebatas pacaran, karena usia kita sudah tak pantas menjalin hubungan seperti ini”. Yujang hendak mengutarakan keinginannya menikahi Lena.
“Lalu, hubungan apa yang kau mau?”. Jawab Lena yang sengaja memancing Yujang untuk mengatakan apa yang ingin dia dengar. Pertanyaan ini juga yang di tunggu-tunggu Yujang dari kekasihnya, seakan Lena memberi ruang dan kesempatan untuk mengatakan hajatnya. Yujang diam sejenak hendak mengatur nafas, rasanya seperti pertama kali menyatakan cinta, dag dig dug jantungnya,  gemetaran dan keringat dingin seluruh tubuhnya.
“Mau kah kau menikah denganku?”. Sambil di pegangnnya tangan Lena yang tersipu malu, wajahnya memerah dan tak kuasa memandang wajah kekasihnya yang agak tua dan dicintainya itu.
“Jangan senyum-senyum saja dek, apa jawabanmu?”. Tegas Yujang.
“Aku mau menikah denganmu”. Ahirnya Yujang yang tadinya khawatir dengan jawaban Lena, menjadi jadi lega.
Maka setelah hari itu, Yujang mulai sibuk mempersiapkan pertemuan antara keluarganya dan keluarga Lena untuk menentukan tanggal pernikahan mereka. Keluarga yang tinggal berjauhan membuat Yujang kesulitan mengatur pertemuan itu, akhirnya dari pihaknya hanya perwakilan saja, yaitu dari adik Bapaknya yang di sebut Uda’ kemudian istri. Yujang tak jemu-jemu menunggu kabar dari Lena, tentang tanggapan keluarganya akan rencana mereka. Berhari-hari smpai tiga minggu terakhir Yujang belum juga mendapat kabar dari kekasih hatinya itu.
Hingga akhirnya Yujang nekat meski hal itu membuatnya merasa harga dirinya akan turun lantaran belum ada janji yang pasti dengan keluarga wanita, dia mendatangi rumah dimana tempat keluarga Lena tinggal. Betapa kagetnya Yujang melihat rumah itu tak ada siapa-siapa. Rumah itu kosong sepertinya mereka sedang pergi, mungkin masih sibuk mendatangi keluarganya yang lain, untuk memberi tahu bahwa Lena akan menikah pikir Yujang dengan wajah lugu dan layu.
Dengan sabar Yujang menunggu sang kekasih hati yang sebentar lagi akan menjadi istri baginya. Penantiannya yang penuh tanda tanya, istri yang didamba dalam hidup, kini sudah berada di depan mata. Hanya tinggal di pinang walau bayangan masih samar-samar dan berkunang-kunang dikala senja datang. Malam-malam yang berlalu kini mulai berubah menjadi kesedehian sedikit demi sedikit, karena rindu. Dalam tidurnya Yujang sering menyebut-nyebut nama kekasihnya itu.
“Lena, Lena, Lena”. Begitu saja setiap malam.
Hingga pada hari itu Uda’nya yang sudah tidak sabar lagi menunggu di rumah karena ingin menemui keluarga Lena, bertanya kepadanya.
“Betul-betul kah perempuan itu mau kawin sama kamu? Kenapa lama sekali kasih kabar? Kami mau pulang ke seberang, anak kami sendirian dirumah”.
“Betul Uda’ kami sudaah bicara masalah mau menikah. Kan ada proses lamaran dan lain sebagainya. Itu yang harus dia bicarakan sama semua keluarganya, mungkin gara-gara itu dia jadi sibuk, karena keluarganya banyak yang harus di beritahu, makanya lama”. Begitulah pikir si Yujang yang hanya memikirkan hal-hal yang baik-baik tentang Lena. Tapi sesungguhnya ada rahasia besar yang disimpan Lena dari Yujang.
“Kalau begitu besok langsung datang saja kerumahnya, supaya jelas”. Tambah Uda’
“Besok biar kita suruh orang saja memeriksa kesana”. Jawab Yujang singkat. Tampaknya Yujang sudah mau putus asa. Dalam hati Yujang berkata-kata.
“Kalau seandainya besok rumah itu masih kosong, aku harus keluar kampung mencari Lena. Mau bagaimana lagi, dialah harapanku satu-satunya dan aku benar-benar berharap dia yang terakhir dalam hidupku, betapa aku mencintaimu Lena. Dimana kau sekarang, kau seperti menghilang, kau tak menghindariku kan? Aku tak ingin putus asa, keluargaku sudah gembira sekali mendengar kabar tentang pernikahan kita. Jangan kau hapus kegembiraan mereka Lena. Aku pun akan malu kalau kita batal menikah nantinya, dan usiaku ini memang sudah benar-benar senja. Hari-hari kulalui sendiri, aku ingin kau mengisi kekosonganku bersama anak-anak kita nanti. Aku tak ingin orang-orang berkata si Yujang buayoi kelayun alias bujang lapuk”.
Tanpa sadar si Yujang memberi panggilan sendiri pada dirinya, semalaman suntuk  dia tak tidur, malam-malamnya dihabiskan hanya untuk memikirkan kekasih hatinya yang entah dimana berada.
Besoknya Yujang meminta salah satu anak buahnya pergi lagi kerumah Lena untuk memastikan apakah dia sudah pulang bersama keluarganya.
“Acay kau harus pergi ke hulu, ke rumahnya Lena. Pastikan apakah dia sudah ada dirumahnya atau belum. Yaa?”. Gelagat Yujang menyuruhnya.
“Iya Jang”. Jawab Acay.
                Sesampainya di depan rumah Lena Acay langsung mengetuk pintu, namun tak ada orang. Rumah itu masih kosong. Salah satu tetangganya menegur Acay. Berincang-bincanglah dia dengan tetangga Lena tadi, segera Acay pulang dan menceritakan semuanya tentang Lena kepada Yujang.
Lena dan keluarga sudah pindah keluar kampung. Sebelum sempat Lena memberi tahu keluarganya tentang rencana kawin dengan Yujang, rupanya orang tua Lena sudah berencana sendiri untuk menikahkan anaknya pada keponakan mereka sendiri yang sama-sama orang cina. Lena terpaksa harus menuruti kedua orang tuanya, dan bersedia menikah dengan pilihan Ayah dan Ibunya. Yujang pun mrasa terpukul dengan kabar itu lantaran batal kawin dan belum melepas statusnya dari Buayoi Kelayun, dan Lena yang benar-benar mencintai Yujang akan mengubur cintanya dalam-dalam.

Tanjung Selor, Februari 2017

Catatan:
Cerpenis yang tinggal di Ibu Kota Provinsi Kaltara, Tanjung Selor ini cukup produktif. Tulisannya banyak dimuat di media Radar Tarakan, Koran Kaltara. Cerpen Si Yujang Buayoi Kelayun ini telah dipublikasikan di Koran Kaltara pada edisi Sabtu, 04 Februari 2017.




.

"Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji"

-Buya Hamka-

0 Komentar "Si Yujang Buayoi Kelayun, Cerpen Siti Soleha "