Thursday, December 20, 2012

Naskah Derama : Kota Tak Henti Bernyanyi

PROLOG
Kisah ini terjadi pada sebuah ruang terbuka, di tengah kota, tempat bertemunya orang-orang dengan berbagai latar belakang. Barangkali bukan benar-benar bertemu, selain hanya berada di tempat yang sama dalam waktu yang bersamaan. Mereka; punya alasan yang tidak harus sama untuk datang, ada yang sekedar melepas lelah, ada yang mengisi perut karena dirumah tidak ada masakan, ada yang menghibur diri membuang segala beban pikiran, ada juga yang iseng-iseng mencari pasangan. Barangkali hanya beberapa orang pedagang makanan, mainan anak-anak, juga perempuan-perempuan pelacur yang bertujuan mencari rejeki.
Tempat itu; mungkin sebuah taman kota; mungkin juga bukan. Bisa jadi, dia hanya sebuah alun-alun, sisa peninggalan sejarah kota.
Adegan diawali dengan masuknya beberapa orang pemain ke atas stage; ketika lampu-lampu belum dinyalakan. Mereka mengambil posisi sedemikian rupa; dengan karakter berupa-rupa; tercermin dari property yang dibawa dan berada disekitarnya.
Bermula seorang pemain menyanyikan sebuah tembang, bersamaan waktu dengan sebuah lampu menyorotnya untuk kemudian kembali padam. Demikian satu persatu pemain menyanyikan tembang yang sama, secara bergantian.

Syair tembang itu berbunyi :

IBUKU
DARAHKU
TANAH AIRKU
TAK RELA
KUMELIHAT
KAU SEPERTI ITU
ADA APAKAH ……………… ??????

Setelah semua pemain melakukan hal yang sama, juga beberapa orang pemain yang naik ke stage belakangan; akhirnya secara bersama mereka menyanyikan tembang itu; lampu semua menyala; untuk kemudian padam seiring hilangnya suara pemain.
Stage gelap, pemain diam, sunyi ……………!
Diam-diam semua pemain out, kecuali dua orang wanita yang tetap berada di tempatnya. Mereka adalah seorang penjual jagung bakar dan seorang lagi perempuan lacur, yang masing-masing tengah bersiap-siap menyambut pelanggan Ada juga seorang bocah di satu sudut panggung yang tampak sedang membangun rumah – rumahan dari bonggol jagung.

BLACKOUT

ADEGAN I

Subiah; penjual jagung bakar itu tengah menyalakan bara pembakaran, sementara Sriwit; si perempuan lacur, duduk diatas gelaran tikar sembari bersolek mempercantik dirinya dengan lipstik dan bedak murahan tentunya.

Subiah : (Sesekali melirik Sriwit, sedikit tersenyum sinis)
Kamu pikir dengan mempertebal bedakmu, kamu mampu menutupi garis-garis ketuaan di wajahmu, Sri ? Mbok eling, kamu itu sudah mulai tua, garis-garis keriput diwajahmu itu, semakin lama semakin tampak nyata !
Sriwit : (Sedikit menoleh pada Subiah, kemudian melanjutkan aktivitasnya)
Lha gimana lagi, Mbak, para lelaki itu, para pelangganku itu, selalu menuntut aku untuk tampil cantik. Dengan apa lagi aku akan kelihatan cantik, kalau tidak dengan bedak dan gincu ini ?
(Setelah memasukkan semua alat make-upnya ke dalam tas kecil)
Sampean sih enak, tidak butuh penampilan, pelanggan Mbak Subi juga nggak pernah menuntut yang macam-macam, yang penting jagungnya muda, empuk, manis, cukup ditambah saos sama mentega, enak, gurih, lezaaat..!
Subiah : Makanya, sudah berapa kali kubilang, kamu mbok cari pekerjaan lain. Apa selamanya kamu akan seperti itu ? Menjadi pelacur, menjadi budak nafsu laki-laki iseng. Ingat Sri, harkat dan martabat wanita, tak akan pernah terangkat jika masih ada orang yang melakukan pekerjaan seperti kamu itu.
Sriwit : Embuh mbak, aku sudah tidak memikirkan lagi tentang harkat, martabat, harga diri………………… semua itu hanya omong kosong orang-orang yang katanya pinter, tapi hidupnya selalu keblinger.
Subiah : Ya kamu jangan sinis begitu, Sri, jangan pesimis. Jangan skeptis menatap kehidupan ini !
Sriwit : Walah-walah…………! Mbak Subi……, ngomongnya tiba-tiba seperti orang – orang pinter itu. Pakai is…is…….. segala, sinis, skeptis, pesimis, amis amis……..!
Subiah : Lho, bener Sri ! Kita harus bisa memaknai realita, harus bisa menata hidup kita, diri kita, biar orang lain tidak mencibir, tidak mencemoohkan kita, meskipun sebenarnya kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tapi setidak-tidaknya kalau hidup kita lurus, jujur, nrima ing pandum, tidak neka-neka..maka……………
Sriwit : Eh… Mbak….mbak Subi ! Sampean ini kesambet ya ? kesurupan ya ? Kesurupan siapa Mbak ? kesurupan Kanjeng Sunan ? Sunan Siapa Mbak ? Sunan Kali, Sunan Danau, Sunan Abang atau Sunan Kuning ?
(Berkata begitu Sriwit sembari mendekati Subiah,berusaha memegang jidatnya)
Subiah : (Menghindar dari tangan Sriwit)
Sri ! Kamu ini dibilangi kok malah nyambet-nyambetke! Nyurup-nyurupke!
Sriwit : (kembali ke tempat duduknya)
Habis, Mbak Subi ngomongnya gitu, seperti Kyai atau dukun yang lagi ceramah
Subiah : Ya nggak gitu Sri, maksudku mbok dalam cari makan, cari rejeki, nggak usah aneh-aneh, jangan lewat jalan-jalan kotor sepertimu. Lihat aku, meski pun hasilnya sedikit, tapi dimakan enak, di simpan juga jenak. Coba lihat kamu, berapa penghasilanmu semalam, tapi apa yang sudah kamu punya sekarang ? Semua uang hasil jerih payahmu, menguap begitu saja, tidak meninggalkan apa-apa, ya khan ?
Sriwit : Iya juga sih, mbak ! Semula saya pikir dengan kerja begini, akan cepat mendapatkan uang yang bisa kukumpulkan buat modal apa kek, buka salon, buka warung, atau jual jagung sepertimu,…. Tapi kenyataannya, uang hasil kerjaku rasanya tak pernah betah bila kusimpan. Rasanya kok panas panas gimana gitu lho mbak !
Subiah : Makanya, aku bilang juga apa, coba kamu renungkan apa yang tadi kukatakan !
Sriwit : Iya mbak, tapi ……………..

(tiba-tiba anak yang membangun rumah - rumahan – namakan saja kenang - menyela dengan satu pertanyaan)
Kenang : Mbak, mbak subiah, sekarang sudah jam berapa mbak ?
Subiah : Baru jam setengah tujuh, masih sore, ada apa sih nang ? mau ada acara ya ?
Kenang : Ah enggak, cuma tanya saja kok mbak !
(menjawab demikian dia kembali asyik dengan aktivitasnya)


BLACKOUT


ADEGAN II

Seorang perempuan yg sebenarnya belum terlalu tua, namun penderitaan telah mengubah wajahnya menjadi tampak lelah. Dipundaknya tergantung sebuah buntalan besar yang nyata tampak beratnya. Pakaiannya yang kumuh mempertebal citranya sebagai kaum penderita. Sementara di belakangnya seorang anak perempuan dengan pakaian yang tidak kalah kumalnya. Beriring mereka melintas di depan subiah dan sriwit. Sesekali si anak melepaskan pandangannya ke langit.

Anak : Mak, sepertinya malam ini akan hujan, mak !
Mak : Memangnya kenapa ?
Anak : Kita tidur di mana, Mak ?
Mak : Dimana ? kamu bertanya tidur dimana ? bukankah selama ini tempat tak pernah jadi masalah bagi kita ?
Anak : Iya Mak, tapi tempat ini akan basah oleh hujan, Mak !
Mak : Akan..! baru akan ……, kamu sudah ribut begitu !
Anak : Iya Mak, tapi nanti benar – benar hujan Mak !
Mak : Benar – benar ? kamu bilang benar – benar ?
Anak : Iya Mak, benar – benar hujan mak, nanti basah mak !
Mak : Apa kamu yakin ?
Anak : Yakin Mak ! yakin …..!
Mak : Kok kamu bisa yakin ?
Anak : Kan mendung mak, mendungnya tebal lagi, pasti nanti hujan mak !
Mak : Kamu yakin ?
Anak : Yakin mak !
Mak : Benar – benar yakin ?
Anak : Yakin Mak ! yakin pasti ! Pasti hujan, mak !
Mak : Kamu kok bisa memastikan begitu, apa kamu ini Tuhan ?
Anak : Yach ….. Emak, untuk sebuah keyakinan, kepastian, apa harus menjadi Tuhan ? aku kan belajar membaca tanda – tanda alam, mak !
Mak : Bagus itu, berarti kamu ini “ngerti sak durunge winarah”, tahu bakal terjadinya sesuatu sebelum hal itu benar-benar terjadi !
Anak : (bangga) ya begitulah, mak !
Mak : Dengan kata lain, kamu punya kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi !
Anak : (semakin bangga) ya……, kira – kira ….. begitulah, mak !
Mak : Bagus, nanti kasih tahu mak, angka yang bakal keluar malam ini !
Anak : (bingung) Lho…….?
Mak : (sambil pergi – out) Nanti saja ngasih tahunya, disana, biar nggak didengar orang lain ! Sekarang kita cari tempat tidur dulu !
Anak : (Semakin bingung) Lho……, lho……, Mak….?

(dalam kebingungannya karena ditinggal sang emak, kenang tiba-tiba menyela dengan satu pertanyaan )
Kenang : mbak, mbak, sekarang jam berapa ?
Anak : Nggak tahu, nggak punya jam ! memangnya ada apa ?
Kenang : Nggak kok, cuma nanya aja ! (meneruskan pekerjaannya)
Anak : (jadi semakin bingung) Ooo…..cah gemblung …..! (out)

BLACK OUT


ADEGAN III

Suara motor mendekat. Musik lembut. Seorang laki – laki, mungkin pelanggan sriwit, masuk dan mendekati sriwit. Subiah kembali sibuk dengan dagangannya. Si laki – laki tampak berbicara dengan Sriwit. Mereka berdua duduk berdampingan, tidak jauh dari dagangan subiah, tapi agak tersembunyi. Beberapa orang datang membeli jagung baker, sambil menunggu mereka melirik sriwit dan laki – laki itu. Berbagai ekspresi muncul, ada yang senang, benci, mauak, penasaran, dsb. Beberapa waktu kemudian sriwit dan laki – laki perg bergandengani. Suara motor menjauh.
BLACKOUT

ADEGAN IV

Musik lembut tentang cinta. Kenang yang masih asyik dengan pekerjaannya, tiba – tiba berhenti, memperhatikan hasil pekerjaannya, bertanya , berteriak, pada subiah

Kenang : Mbak Subiah, sekarang jam berapa ?
Subiah : Jam delapan malam !
Kenang : Jam berapa mbak ?
Subiah : Jam dua puluh lebih empat menit
Kenang : Jam berapa ?
Subiah : Jam dua puluh lebih empat menit !

Saat berikutnya, kenang berdiri dengan selembar kertas berisi puisi. Ditempatnya berdiri, dia mulai membaca puisi itu dengan ekspresif. Musik lembut masih mengalun. Seiring dengan itu, orang – orang mulai lewat di depan jualan subiah, ada yang berpasangan, ada yang berombongan, ada yang sendiri. Sebagian ada yang menyempatkan diri membeli jagung bakar subiah. Yang lain hanya lewat sambil bercakap dengan teman seperjalanannya. (Semua dilakukan dalam gerak tanpa suara. Karena suara yang terdengar hanya suara puisi kenang dan musik lembut yang tetap mengalir)

Puisi yang dibaca kenang :


KOTA TAK HENTI BERNYANYI

Tanah lapang
Air kelahiran
Kota tak henti bernyanyi
Nada – nada sumbang
Opera sejarah saling silang
Bertumbuk buram khayal penantian
Sinar merkuri rakus libas pesona kunang – kunang

Tanah lapang
Air kelahiran
Hijau rerumput memucat
Bilur wajah berlumur asap
Ludah - ludah membusa
Keringat merupa laut
Caci maki mengkabut
Dada rebah dilindas tumpukan propaganda

Malam ini, dua puluh lebih empat
Gemintang tak bergairah
Saksi keringat curah
Bonggol – bonggol membangun rumah
Dingin trotoar sehangat ranjang mimpi
Semimpi berpasang muda
Jelajahi lorong surga

Malam ini, dua puluh lebih empat
Ditanah lapang air kelahiran
Sejarah tak habis cerita
Kisah baru berdesak laju
Pahat hati batu – batu


YU JAGUNG BAKAR DAN YU LONTE ALUN-ALUN

Gelar….gelar…..gelar…..
Tikar-tikar di gelar
Botol-botol digelar
Arang-arang dibakar
Bongkol-bongkol dibakar

Yu, malam ini malam minggu
Berapa karung kau bawa untuk pelangganmu ?

Gelar….gelar…..gelar…..
Paha-paha di gelar
Dada-dada digelar
Hasrat-hasrat dibakar
Nafsu-nafsu dibakar

Yu, malam ini malam minggu
Berapa tebal bedak gincu kau pakai untuk pelangganmu ?

Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan getar
Tidak dengan gentar
Trotoar ini milikmu
Alun-alun ini milikmu

Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan dupa atau asap kemenyan
Cukup tubuh rentan menahan dingin malam
Biar terhirup udara
Kurangkan sesak jiwa
Ketika rasa berpacu lari tinggalkan caci dan air mata
Menumpuk ingin menumpuk angan
Mengejar ingin mengejar angan
Hanya kepadamu yu,
Ku mampu bertatap.

BLACKOUT


ADEGAN V

Suara puisi menghilang, musik lembut berganti tegang. Suara seorang perempuan menghentak dari luar panggung. Tampaknya dia begitu marah, menangis, cenderung putus asa. Kalimatnya jelas mengancam seseorang yang sangat dibencinya.

Perempuan : Bajingan ! perempuan sundal ! Dasar pelacur ! Lonte ! Apa tidak ada pekerjaan lain, selain mengganggu rumah tangga orang ? bajingan kamu Sri ! Awas kamu Sri, tak bacok lehermu, biar mampus kamu ! Sri ! Sriwit ! Dimana kamu ? jangan ngumpet Kamu. Ayo tunjukkan batang hdiungmu, pengecut ! Ayo Sri….! Lonte ! Ayo kesini, biar ku bacok – bacok kamu !
Kamu juga laki –laki bangsat ! Apa sudah jadi pengecut ? Lihat anak – anakmu ! Anak – anakmu yang tak pernah kamu perhatikan ! Lihat ! Dasar laki – laki tak bertanggung jawab. Bisanya cuma cari gendak’an. Mendhing kalau gundikmu perempuan baik – baik ! bukan pelacur jalanan seperti si sriwit ! Ayo, keluar kamu ! biar ku bunuh sekalian !

Dengan kemarahan yang meluap – luap, perempuan itu masuk, dengan sebilah sabit di tangannya, mendekati dasaran Subiah. Dia masih tetap meracau dengan kalimat – kalimat ancamannya

Perempuan : Sri..! Sriwit.! Ngumpet di mana kamu ? He Subiah jagung bakar, kamu sembunyikan di mana Sriwit ? Ha ? Jangan coba melindungi dia ! Nanti kamu ikut jadi korban kemarahanku ! Mana ? Mana Sriwit ?
Subiah : (tetap tenang, tak terpengaruh dengan kehadiran perempuan itu, tetap asyik dengan dagangannya)
Yo embuh ! Memangya aku ibunya Sriwit apa ? kok nanya - nanya aku, apa hubungannya ? Lagian, apa untungnya aku sembunyikan dia Sriwit ?
Perempuan : Kamu temanya kan ? tempat mangkalnya kan ? atau kamu induk semangnya, germonya, Sriwit ?
Subiah : Mbak, jangan ngawur ya bicaramu ! memang, Sriwit memang sering disini. Tapi bukan berarti aku germonya. Tempat ini kan tempat umum, siapa saja boleh disini. Memang hakku apa melarang dia ?
Perempuan : Ya kan ? ngaku kan kalau kamu temannya Sriwit?
Subiah : Iya ! Benar ! Sriwit memang temanku ! Tapi apa salahnya ?
Perempuan : Apa salahnya? Apa kamu tidak tahu kalau Sriwit itu pelacur?
Subiah : Memang kalau pelacur kenapa ?
Perempuan : (Karena tidak kuat menahan kemarahan, akhirnya dia hanya bisa jatuh terduduk sambil menangis)
Suamiku…………suamiku, mbak !
Subiah : Suamimu itu kenapa ?
Perempuan : (pandangan menerawang, sambil menangis) Berbulan – bulan dia tidak pulang! Melupakan keluarga, melupakan anak dan istri. Tidak pernah lagi memberi nafkah. Siapa yang tidak marah, mbak? Siapa? Setelah saya cari – cari, kabarnya, setiap malam dia selalu kesini. Dan selalu bersama Sriwit. Coba bayangkan, mbak, bayangkan! Suamiku itu kerjanya hanya buruh panggul di pasar, hasilnya tak seberapa. Masak selalu dihabiskan hanya untuk bermain gila dengan pelacur itu. Sudah gitu, masih gila nomer lagi. Main togel tiap hari. Sementara anak – anak semakin membutuhkan biaya. Anak kami sudah empat mbak, yang besar baru saja masuk SMP. Dengan apa aku akan membiayai semua itu, kalau suamiku tidak peduli seperti ini ?
Subiah : (melihat perempuan itu menangis, dia jatuh kasihan. Dibuatkannya segelas teh)
Ya sudah, sabar! Diminum dulu tehnya, biar tenang! Nanti kalau kesini, temui dia, bicarakan baik – baik! Paling sebentar lagi juga datang !
Perempuan : Percuma, mbak! Sudah habis kesabaran saya! Tidak ada gunanya lagi bicara sama dia !
Subiah : Kita lihat saja nanti, sekarang tehnya diminum dulu!

Ketika perempuan itu minum tehnya, sekonyong – konyong sang suami masuk, tanpa menyadari kalau istrinya ada disitu. Dengan santai dia melenggang, menanyakan Sriwit pada Subiah. Ini membuat Subiah jadi gugup

Laki – laki : Halo mbak Subiah! Ramaikah daganganmu? Sriwit mana? sudah datang belum?
Subiah : E…e..e, iya ramai! Sudah…e, belum… e, sudah …..! (dalam kegugupannya, dia mencoba memberi tahu dengan isyarat mata )
Laki – laki : (Belum menyadari, masih santai, mengambil jajanan subiah) Sudah apa belum? Mana dia sekarang?
Subiah : Itu….! Itu…..! (tangannya menunjuk – nunjuk ke perempuan)

Reflek pandangan laki – laki mengikuti arah telunjuk subiah. Kaget dia ketika dilihatnya sang istri yang tampak beringas, dengan sebilah arit di tangannya.

Perempuan : (menahan amarah) Kang……!
Laki – laki : K…kau…! Kau….?
Perempuan : Iya…..aku, kang !
Laki – laki : Me…..mengapa…..mengapa kamu…. kesini ?
Perempuan : Untuk membunuhmu!

(mengejar sambil mengayun – ayunkan aritnya. Laki – laki ketakutan, berlari, sembunyi di balik subiah, terus dikejar, terjadi kejar – kejaran, laki – laki out, terus dikejar perempuan)

BLACKOUT

ADEGAN VI

Subiah masih ditempatnya, sibuk dengan dagangannya ketika beberapa orang dengan membawa peralatan masuk. Satu diantaranya, pimpinannya mungkin, menunjuk – nunjuk tempat dagangan subiah. Yang lain mengerti! Tanpa bicara, orang – orang itu mulai menyingkirkan dagangan Subiah. Subiah yang semula hanya emperhatikan, merasa diperlakukan tidak adil, dia protes. Dikembalikannya dagangannya ke tempat semula. Dipindah lagi. Dikembalikan lagi. Dipindah lagi. Dikembalikan dengan kesal. Dipindah dengan marah, dilempar, berserakan !

Subiah : He! Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan ?
Pimpinan : Kamu harus pindah dari sini!
Subiah : Memangnya kenapa?
Pimpinan : Tempat ini akan digunakan untuk kepentingan umum!
Subiah : Kepentingan umum? Kepentingan umum apa ?
Pimpinan : Sudah ! Ndak usah banyak tanya !
Subiah : Tidak ! sudah bertahun – tahun saya jualan disini. Tidak, tidak bisa !
Pimpinan : Pindah ! Atau kamu celaka ?
Subiah : Tidak!
Pimpinan : Pindah!
Subiah : Tidak!
Pimpinan : Pindah!
Subiah : Tidak!
Pimpinan : (memberi isyarat pada anak buahnya)

Subiah ditangkap, dibekuk, diseret keluar. Subiah meronta – ronta, tapi tidak kuasa melawan. Barang – barang dagangannya diacak – acak orang – orang itu. Berserakan. Kemudian orang – orang itu membawa masuk sebuah papan besar, dipasang di tempat bekas dagangan subiah. Sebuah papan yang bertuliskan P A R T A I.

BLACKOUT

EPILOG

Lampu perlahan menyorot papan PARTAI. Serakan dagangan subiah masih di tempatnya. Sayup – sayup terdengar lagu IBUKU DARAHKU dari seorang perempuan. Nada suaranya mencerminkan kedukaan. Sriwit masuk bersama seorang lelaki. Terlihat dari gayanya, mereka sedang dimabuk asmara. Seiring alunan lagu, mereka berpacaran. Bersenda gurau, bermesraan. Hingga akhirnya Sriwit menggelar selembar tikar, yang ditinggalkan subiah, tepat di bawah papan. Berdua mereka duduk disana. Ketika akhirnya Sriwit berbaring, dan laki – laki mulai membuka pakaiannya, lampu perlahan padam, lagu mengeras dan THE END.

0 Komentar "Naskah Derama : Kota Tak Henti Bernyanyi"